Hasil pertanian organik memiliki pangsa pasar yang bagus dan harganya relatif lebih mahal. Konsumen middle up, terutama di negara-negara maju seperti Jepang, Eropa, dan Amerika Serikat sangat menghargai hasil pertanian organik, tak terkecuali komoditi kopi arabica organik.
Sayangnya, secara global, posisi Indonesia sebagai eksportir kopi terbesar ketiga dunia, digeser oleh Vietnam, yang baru seumur jagung mengenal perkopian.
Secara umum, perkebunan kopi rakyat yang ada di Indonesia dikelola secara turun-temurun sejak zaman penjajahan Belanda, termasuk perkebunan kopi yang ada di Jawa Timur. Jenis tanaman kopi yang dikembangkan, terutama Kopi Robusta dan Kopi Arabica. Rasa dan aroma kopi di beberapa daerah di Indonesia sangat spesifik, sesuai kondisi geografis wilayahnya.
Di Kabupaten Malang, khususnya di wilayah Kecamatan Dampit, Kecamatan Ampel Gading, dan sekitarnya yang memiliki ketinggian kurang dari 800 meter dari permukaan laut, berkembang pesat kopi jenis Robusta dengan special taste (rasa istimewa) yang beda dengan kopi Robusta di daerah lain. Sementara, di wilayah Kayumas, Kabupaten Situbondo, yang umumnya berada di ketinggian di atas 800 meter dari permukaan laut, lebih kuat perkembangan kopi Arabica juga dengan special taste-nya.
Menurut Kepala Dinas Perkebunan (Kadisbun) Provinsi Jawa Timur, Ir. Mohammad Samsul Arifien MMA, yang didampingi Sekretaris Dinas, Drs Djumadi Widodo MM, meski jenis kopi yang ditanam sama, tapi kopi Robusta dari Dampit dan kopi Arabica dari Kayumas sangat berbeda aroma dan rasanya dengan daerah-daerah lain. “Ini karena adanya faktor alam, tanah, dan lingkungan,” jelas Samsul.
Lebih jauh Kadisbun mengatakan, dengan kondisi lingkungan yang relatif terjaga dan minim dari polusi membuat wilayah di Kayumas sangat cocok dijadikan sentra penanaman kopi Arabica -Special ‘T’ (special taste). Disamping area perkebunannya yang berada di atas 1.000 merer dari permukaan laut, juga ditopang kemampuan para petani dalam mengelola kebun kopi Arabica.
Tanaman kopi Arabica memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi, dibanding jenis kopi Robusta. Dengan batang dan akar tanaman lebih kecil, serta rentan diserang hama dan penyakit, membuat perawatan tanaman kopi Arabica harus lebih intensif. Kondisi tanah dan tingkat polusi juga sangat mempengaruhi ‘kesehatan’ tanaman.
Sejauh ini, permintaan terhadap kopi jenis Arabica di pasar internasional cukup tinggi. Namun, suplai yang ada masih belum mencukupi. Tentu ini menjadi peluang pasar yang bagus, mengingat di wilayah Kayumas berkembang baik tanaman kopi jenis Arabica. Komposisi tanaman kopi Arabica di Kayumas sangat dominan, hampir 90 : 10 dengan tanaman kopi Robusta.
Nilai plus yang dimiliki para petani di Desa Kayumas, Kecamatan Arjasa, Kabupaten Situbondo, tidak hanya karena mengembangkan tanaman kopi jenis Arabica, tapi juga karena kemampuan mereka mengembangkan pertanian organik. Secara turun-temurun, sebenarnya para petani kopi di Kayumas telah mengenal pertanian organik. Namun, baru beberapa tahun terakhir dikelola secara serius dan dilakukan berbagai penelitian dan standarisasi agar bisa mendapatkan pengakuan di level internasional.
Hasil pertanian organik memiliki pangsa pasar yang bagus dan harganya relatif lebih mahal. Konsumen middle up, terutama di negara-negara maju seperti Jepang, Eropa dan Amerika Serikat sangat menghargai hasil pertanian organik, tak terkecuali komoditi kopi organik. Hal ini yang mendorong para petani di Kayumas semakin serius lagi mengembangkan pertanian kopi Arabica organik.
Saat ini di Desa Kayumas terdapat 72 orang yang menjadi anggota Gapoktan (Gabungan Kelompok Tani) Kopi Arabica Organik “Sumber Kayu Putih” dengan luas lahan mencapai 132,25 Ha. Hanya petani yang memiliki lahan di atas 1 Ha saja yang tercatat di keanggotaan Gapoktan. Sementara, yang memiliki lahan kurang dari 1 Ha tersebar di 6 Sub Kelompok Tani. Bila ditotal seluruh lahan pertanian kopi yang ada di Kayumas, yakni mencapai + 341,25 Ha.
Mayoritas petani kopi di Kayumas menanam jenis Arabica, namun 10% dari luas lahan itu ditanami jenis kopi Robusta. Kopi Robusta ini terutama ditanam di lahan yang berada di dekat jalan utama daerah tersebut, dengan kemiringan di atas 45 derajat. Hal ini karena batang pohon kopi Robusta lebih kuat, dan akarnya menancap ke tanah dan relatif tahan terhadap dampak asap kendaraan. Tanaman ini juga difungsikan sebagai tanaman penguat dan menghindarkan tanah dari erosi. Sama seperti kopi Arabica, tanaman kopi Robusta ini juga dirawat dengan sistem organik.
Menurut Ketua Gapoktan “Sumber Kayu Putih”, H. Sukarwi, para petani sudah menjalankan pertanian kopi Arabica organik secara turun-temurun sejak jaman Belanda. Maka tak perlu heran, mayoritas petani kopi di Kayumas tetap bertahan dengan konsep pertanian organik, dimana mereka menghindari penggunaan berbagai bahan kimia dan pestisida dalam mengelola perkebunan kopinya, baik saat pemupukan maupun memberantas hama dan penyakit. Serta saat pengolahan biji kopi menjadi HS (ada cangkang lunak) atau ose (biji kopi kering).
Untuk pemupukan, petani mengandalkan pupuk kandang yang dicampur dengan pupuk organik atau kompos yang digunakan dengan sangat hati-hati, sehingga tidak sampai tercampur bahan kimia. Karena hal itu akan mengurangi kesuburan tanah sekaligus ‘menjatuhkan’ standar pertanian oganiknya. Sementara, untuk melawan hama, petani sangat mengandalkan musuh alami dari hama tersebut. Seperti dalam melawan serangan nematoda (cacing mikro yang kasat mata), petani menggunakan musuh alaminya Entomopatogen.
Mengingat masih terbatasnya stok pupuk kandang yang dihasilkan dari kotoran ternak kambing di daerah setempat, maka petani harus membeli dari luar daerah Kayumas. Sedangkan campurannya, seperti daun lamtoro atau kulit biji buah kopi yang sudah dikupas, masih cukup tersedia dari daerah setempat.
Lebih jauh H. Sukarwi menuturkan, meski sudah menjalankan pertanian organik secara turun-temurun, namun pengelolaan secara profesional dan melibatkan lembaga penelitian kopi (Puslit Kopi) baru dimulai sejak tahun 2001. Artinya, baru pada tahun 2001 kelompok petani kopi di Kayumas secara mufakat menjalankan pertanian organik yang terorganisir dan sesuai standarisasi internasional.
Tahun 2004 lalu, mereka sudah panen perdana kopi Arabica organik dan dipasarkan dalam bentuk ose (biji kopi kering) di pasar-pasar tradisional setempat. Baru pada tahun 2005, kelompok petani ini menjalin kerjasama dengan PT Indokom Citrapersada di Kabupaten Sidoarjo, untuk menampung hasil panen dari petani kopi di Kayumas. “Sejak tahun 2005 kami sudah menjalin kerjasama dengan Indokom, sehingga semua hasil panen yang dianggap memenuhi standar atau lolos sortir akan ditampung oleh PT Indokom Citrapersada. Dari kami di Kayumas ini, rata-rata mencapai 100 ton per tahun,” jelas Sukarwi.
Sukarwi sendiri memiliki hampir 8 Ha kebun kopi Arabica yang sejak dulu dipertahankan dengan sistem penanaman organik. Sebelum menjalin kerjasama dengan PT Indokom, kopi-kopi itu dipasarkan di pasar tradisional dan dihargai tak jauh dari kopi Arabica non organik.
Tahun 2008, perkebunan Kopi Arabica Organik di Kayumas, terutama dalam Gapoktan “Sumber Kayu Putih” telah mendapat sertifikat produksi dari PT Indokom Citrapersada. Ini sebuah pengakuan terhadap kualitas pertanian organik yang diterapkan kelompok ini, baik dari unsur tanah, sistem penanaman, perawatan, hingga produksi yang dijauhkan betul-betul dari unsur kimia, sesuai standar pertanian organik internasional.
Keunggulan penanaman kopi Arabica organik di Kayumas ini juga mendapat perhatian berbagai pihak, yang ingin belajar tentang standar pertanian organik. Selain staf dari Pengembangan Tanaman Kopi asal Papua Nugini, juga ada Deputy Director Research dari Centra Agriculture Bioscience International Afrika (CABI Afrika), Dr. George I. Oduor.
Oduor mengakui, kualitas kopi Arabica di Indonesia, khususnya dari Kayumas cukup bagus. Aroma dan rasa kopi Arabica organik Kayumas juga diakui bakal mudah diterima pasar internasional, meski belum sebagus kopi Arabica di Kenya. Namun dengan konsistensi mengembangkan kopi Arabica organik sesuai standar internasional, ia yakin Kopi Kayumas akan semakin diperhitungkan di level internasional dan mampu bersaing dengan kopi-kopi Arabica dari hasil pertanian negara lain yang sudah lebih dulu mengukir reputasi di pasar kopi internasional.
Saat ini Indonesia dikenal sebagai negara eksportir kopi terbesar keempat di dunia, di bawah Brazil, Colombia dan Vietnam. Ironisnya, Vietnam yang mulai tahun 2002 menyodok di urutan ketiga, sebelumnya bukan penghasil kopi yang diperhitungkan. Mereka tahu dan banyak belajar tentang pertanian kopi justru dari Indonesia. Kini Indonesia harus berbenah agar 'sang guru' tak selalu kalah oleh 'murid', seperti halnya dengan Malaysia dalam soal kelapa sawit.
0 komentar:
Posting Komentar