Tajin Palappa
Situbondo memiliki kuliner khas yakni ”Tajin Palappa“. Kuliner yang terbuat dari bubur dengan bumbu campuran kacang dan campuran bumbu lainnya serta sayur-sayuran ini, sempat pecahkan rekor saat pemecahan rekor makan bersama tajin palapa di alun-alun Situbondo
sekelumit sejarah pelabuhan internasional panarukan
Panarukan merupakan pelabuhan yang strategis karena terletak di sebelah Pantai Utara Jawa Timur dan sebagai salah satu bandar kuna telah mempermainkan peranannya sejak berabad-abad yang lampau. Pada masa Kerajaan Majapahit Panarukan sangat terkenal sebagai kota pelabuhan di ujung timur Pulau Jawa
ilustrasi benteng panaroekan 15 agustus 1805
Gambar sebuah desa dengan Latar belakang gunung Rinkit Panaroekan agustus 1805
ikan laut bakar asap khas jangkar
Ikan Bakar asap khas Jangkar Situbondo, adalah salah satu dari tiga tempat favoritku jika sedang terdampar/tugas kantor di asembagus, selain Istana lele dan sate burung dara, untuk kedua witasa kuliner ini akan saya bahas nanti jika sudah bertandang kembali kesana, sekalian tak abadikan fotonya
kesenian wayang topeng "kadar"
Kesenian yang satu ini merupakan kesenian tradisional asli kota situbondo, yaitu pagelaran kesenian wayang topeng atau biasa dikenal dengan "kadar". Kesenian tradisional ini Hanya tampil jika ada acara-acara hajatan perkawinan saja, dan itupun jarang sekali atau bisa dikatakan tidak pernah.
Rabu, 08 Juni 2011
Temuan Air Terjun di Banyuglugur
Batu Kodok di Besuki, Menarik untuk Dikunjungi!!!
Si Bosi, Peniru Suara Hewan Asli SItubondo
Jumat, 03 Juni 2011
Pelabuhan Jangkar
Pada bagian barat dari pelabuhan, kamu akan melihat aksi dari ikan-ikan. Jika kamu ingin ikan segar anda dapat membelinya disini dan jangan lupa makanan khas di tempat ini yaitu Ikan Bakar Asapnya. Pelabuhan Jangkar berlokasi di Kecamatan Asembagus, Situbondo, di 10 km dari timur pusat Kabupaten Situbondo.
Rabu, 01 Juni 2011
Sejarah Singkat Hari Jadi Kabupaten Situbondo (HARJAKASI)
Berdasarkan fakta sejarah Kabupaten Situbondo berawal dari Panarukan. Nama Panarukan yang pada masa sebelumnya disebut POERBOSARI merupakan Kota pelabuhan untuk perahu kepulauan sekitarnya. Setelah Orang Portugis berlabuh dan berakulturasi dengan penduduk lokal, pada Tahun 1580 mereka mendirikan benteng pertahanan untuk menimbun barang dagangannya, seperti lada dan cengkeh yang dibawa dari kepulauan Maluku. Daerah tersebut menjadi tempat menaruh ( Panarukan ) barang orang-orang Portugis, sehingga penduduk setempat lambat laun memberi nama PANARUKAN.
Pada Masa Hindia Belanda, dalam rangka meningkatkan stabilitas pemerintahannya telah diangkat beberapa Bupati, diantaranya di wilayah ujung timur adalah Bupati Bondowoso dan Bupati Panarukan. Bupati Pertama adalah Raden Tumenggung Ario Surjo Amidjojo yang memiliki nama kecil Kanjeng Pandu. Beliau adalah putra Bupati Pribumi I Besuki yang memerintah Panarukan dari Tahun 1850-1859.
Bupati saat itu merupakan pejabat tertinggi dalam pemerintahan birokrasi pribumi, yang membawahai para Wedhana. Dalam menjalankan roda pemerintahan ia dibantu oleh seorang Patih Kabupaten yang berkedudukan di Situbondo. Hingga Tahun 1910 wilayah Kabupaten Panarukan terbagi menjadi 4 Kawedhanan, Yaitu Situbondo, Panaroekan, Prajekan dan Soemberwaroe. Pada akhir pemerintahan Kolonial Belanda terjadi perubahan cakupan kekuasaan dari Kabupaten Panarukan. Distrik Besuki yang dalam Keputusan pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1901 masuk dalam wilayah Kabupaten Bondowoso, pada Tahun 1931 masuk dalam daftar wilayah Kabupaten Panarukan. Sejak itu, Panarukan terdiri dari Distrik Besuki, Distrik Panarukan, Distrik Situbondo dan Distrik Sumberwaru.
Nama Panarukan sangat dikenal berdasarkan penemuan sumber sejarah sejak lama. Sebagai tempat persinggahan para pedagang sejak Zaman Portugis, Panarukan menjadi ramai, bukan saja para pedagang tetapi juga para pelancong dan bahkan hingga Tahun 80-an nama Panarukan masih banyak dikenal oleh masyarakat luar daerah. Ketika Kabupaten Panarukan berdiri, terutama setelah Masa kemerdekaan, berbagai aktifitas pemerintahan dan hubungannya dengan pihak luar diselenggarakan di Distrik Situbondo.
Berdasarkan kenyataan tersebut dan dengan pertimbangan untuk kepentingan kelancaran jalannya roda pemerintahan seiring dengan perkembangan kemajuan daerah, maka nama dan tempat kedudukan Pemerintah Daerah Kabupaten panarukan diubah dan dipindahkan dari Panarukan ke Situbondo pada Era Bupati K. Achmad Tahir Hadisoeparto Tahun 1972. Kegiatan pemerintahan dengan nama resmi Situbondo berawal pada tahun tersebut, yang secara yuridis formal dibuktikan dengan dokumen sejarah sebagaimana tertera dalam Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1972 Tanggal 19 September 1972 tentang Perubahan nama dan Pemindahan Tempat Kedudukan pemerintahan Kabupaten Panarukan menjadi Kabupaten Situbondo dengan tempat Pemerintahan di Situbondo. Sebagai konsekuensi dari diterbitkannya Peraturan pemerintah tersebut maka sejak tanggal 19 September 1972 terjadi perpindahan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan secara resmi dari Panarukan ke Situbondo.
Hari Jadi merupakan tonggak sejarah dimulainya pemerintahan suatu daerah, yang akan dikenang sepanjang hayat sebagai sumber motivasi bagi masyarakat dalam menapak kehidupan yang adil, sejahtera dan berdaya saing, lebih-lebih dalam paradigma kehidupan pemerintahan yang desentralistik di Era Otonomi Daerah saat ini.Sebagai sebuah identitas yang menjadi kebanggaan masyarakat, Hari Jadi suatu daerah adalah muara dalam menggalang solidaritas, rasa memiliki dan rasa cinta terhadap daerah sehingga mendorong kreatifitas masyarakat untuk berkarya dan membangun demi kemajuan daerah.
Dalam Konteks ini, setelah bertahun-tahun menjadi pertanyaan berbagai kalangan, pada Hari Rabo Tanggal 12 Agustus 2009 terjadi peristiwa monumental dalam upaya penelusuran sejarah Kabupaten Situbondo. Itulah saat dimana penetapan Hari jadi Kabupaten Situbondo mendapat persetujuan bersama eksekutif dan legislatif.Dalam suatu Rapat Paripurna DPRD, Wakil Bupati SItubondo, Drs.H. Suroso, M.Pd bersama Ketua DPRD Drs. H. Aqiq Zaman, dihadapan para pejabat pemerintah dan segenap wakil rakyat yang hadir saat itu menyetujui ditetapkannnya Peraturan Daerah Kabupaten Situbondo Nomor 6 Tahun 2009 tentang Hari Jadi Kabupaten Situbondo (HARJAKASI). Perda tersebut selanjutnya dituangkan dalam Lembaran Daerah Kabupaten Situbondo pada tanggal 18 Agustus 2009.Setelah melalui proses pembahasan secara seksama dalam Rapat DPRD dan mempertimbangkan referensi yang direkomendasikan oleh para pakar dan peneliti yang melakukan tugas penelitian selama hampir 2 tahun, DPRD dan pemerintah Daerah menyepakati Hari Jadi Kabupaten Situbondo jatuh pada Tanggal 19 september 1972.
Dengan ditetapkannya Hari Jadi Kabupaten Situbondo pada tanggal 19 September 1972 semoga menjadi motivasi bagi masyarakat untuk meningkatkan kecintaan dan kebanggaan terhadap daerah, khususnya dalam meningkatkan daya saing daerah di Era Otonomi Daerah, dengan terus meningkatkan kreatifitas menggali potensi daerah dalam berbagai sektor pembangunan, termasuk pembangunan seni budaya dan pariwisata yang dapat dijadikan identitas daerah Situbondo sebagai daerah yang Sehat, Aman, Nyaman, Tertib, Rapi dan Indah sesuai Motto Daerah “SANTRI”.Situbondo, 19 September 2009.
Jumat, 27 Mei 2011
Kripik Ikan Khas Situbondo,,, Boleh Dicoba!!!
Adalah Umi Kulsum (45), warga Desa Paowan, Kecamatan Panarukan, Situbondo, yang pertama kali memperkenalkan keripik ikan kunir. Dinamakan ikan kunir, karena ikan laut segar jenis mangla berwarna kuning kemerahan ini mirip warna kunir atau kunyit. Dari ikan kunir itulah, Umi Kulsum membuat keripik yang kini menjadi ikon Situbondo atau oleh-oleh khas dari Kota Santri ini.
Rasa keripik kunir gurih, enak, dan renyah sehingga sangat diminati, terutama para pelancong dari luar kota yang kebetulan singgah di Situbondo. Untuk Anda yang juga ingin menjadikannya buah tangan, keripik ikan kunir bisa dibeli di berbagai rumah makan atau outlet makanan khas Situbondo.
Umi Kulsum menjelaskan bahan dan bumbu yang dipakai untuk membuat keripik ikan kunir yang renyah dan gurih, di antaranya tepung beras, bawang putih, kencur, kunir, ketumbar, garam, air kapur, dan sedikit gula. Sebelum dijadikan keripik, ikan terlebih dahulu disayat bagian perutnya untuk dibuang tulang dan kotorannya.
Setelah dibersihkan dengan air, mulailah ikan dicampur dengan adonan tepung berikut bumbu-bumbu yang sudah di persiapkan. Selanjutnya, ikan digoreng hingga sekira 30 menit.
Agar keripik tidak berminyak, hasil gorengan kemudian dimasukkan ke mesin pemampat minyak. Setelah selesai, keripik pun siap dikemas dan ditimbang untuk kemudian dipasarkan.
Setiap 250 gram keripik ikan kunir, Umi mengaku menjualnya dengan harga Rp11 ribu. Dalam satu hari, ia mampu memroduksi hingga 50 kilogram ikan atau setara dengan 90 bungkus keripik ukuran 250 gram.
Situbondo sebagai Tempat Pelatihan Internasional Perikanan 4 Warga Afrika
Rabu, 25 Mei 2011
Sukorejo Islamic Center
Pesantren yang berdiri di Sukorejo ini, pada awalnya adalah sebuah hutan lebat. Setelah mendapat saran dari Habib Musawa dan Kiai Asadullah dari Semarang, Kiai Syamsul Arifin, sebagai pendiri pondok, segera membabat hutan lebat tersebut sekitar tahun 1908 untuk mendirikan pesantren. Dipilihnya hutan yang banyak dihuni binatang buas tersebut, berdasarkan hasil istikharah . Kini pesantren tersebut telah menjadi agen pembangunan bagi masyarakat sekitarnya. Sosoknya tidak seperti œmenara gadingâ, tetapi justru terbuka dan menyatu dengan masyarakat sekitarnya. Tak heran, kalau masyarakat Situbondo merasakan manfaat atas kehadiran pondok pesantren ini.
Banyak cerita yang mengisahkan pesantren yang memiliki santri 15.000 orang ini. Kiai Syamsul, setelah berhasil mendirikan pondok di tengah hutan Desa Sukorejo mulai banyak didatangi orang. Tanpa dirancang dengan tata ruang, hutan yang semula menyelimuti desa tersebut, mulai dipadati rumah penduduk hingga seperti sekarang ini.
Kiai Syamsul memang terus sibuk membesarkan pondoknya. Namun sebagai kiai yang memiliki visi ke depan, ia juga mengirim kedua anaknya, masing-masing As'ad dan Abdurrahman ke Mekkah Saudi Arabia , untuk mendalami ilmu agama. Hal ini dilakukan karena Kiai Syamsul menginginkan anaknya kelak harus melanjutkan kepemimpinan pondok pesantren.
Kiai As'ad yang menjadi ulama kharismatik sekembalinya ke tanah air, punya andil besar dalam lahirnya Nahdlatul Ulama (NU), sebuah organisasi keagamaan terbesar di Indonesia . Ia terkenal dengan sebutan œmediator berdirinya NU. Karena saat itu, ia yang menyampaikan isyarat samawiyah tentang organisasi para ulama itu dari Kiai Kholil Bangkalan kepada Kiai Hasyim Asy'ari Jombang. Setelah menggantikan kepemimpinan ayahnya yang meninggal tahun 1951, ia pernah menjadi anggota Konstituante.
Di bawah kepemimpinan Kiai As'ad, Pondok Pesantren Salafiyah Syafiiyah mengalami perkembangan sangat cepat jika dibanding dengan pondok-pondok yang lain di wilayah Jawa Timur. Sepeninggal Kiai As'ad (1990), kepemimpinan pondok dipegang putranya, KHR Achmad Fawaid. Ia tampil memimpin pondok pada usia 22 tahun. Banyak pihak mengira, sepeninggal Kiai As'ad, Pesantren Sukorejo, sebutan populernya, akan sulit menyerap santri baru. Namun kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti. Di bawah kepemimpinan kiai muda ini, ternyata Pesantren Sukorejo terus meroket dengan jumlah santri terus membengkak. Kalau pada zaman Kiai As'ad jumlah santri Salafiyah cuma 5.000 orang pada kepemimpinan Kiai Fawaid membengkak menjadi 15.000 orang.
Pada saat memegang tampuk kepemimpinan pondok, Kiai Fawaid memang masih sangat belia untuk ukuran sebuah pesantren sebesar Sukorejo. Namun kerja kerasnya membuat perkembangan pondok ini jauh melebihi perkiraan orang. Kiai yang selalu berpenampilan rendah diri ini, tak pernah terbawa emosi dalam memimpin pesantren warisan ayahnya.
Ketika Kiai As'ad Syamsul Arifin masih hidup, anak lelaki satu-satunya ini banyak dititipkan kepada kiai besar NU. Maksudnya, tak lain agar ia banyak berguru pada berbagai kiai yang memiliki gaya maupun cara yang berbeda-beda dalam mengelola pesantren. Bagaimana pun, saya tidak akan jauh dari tuntunan Aba kata Kiai Fawaid suatu ketika.
Kiai As'ad Syamsul Arifin yang pernah menjadi mustasyar PBNU selalu mengungkapkan, itu adalah pesantren besar dan pesantren adalah NU kecil. Dengan kata lain, pesantren adalah ciri khas ke-NU-an yang ditandai dengan adanya lembaga, kiai, dan santri plus kitab-kitab kuning. Adalah gagasan dari sang kiai ini pula agar Munas dan Muktamar ke-27 NU (1984) diselenggarakan di pesantren Kiai As'ad di Sukorejo Situbondo Jawa Timur. Kemudian, diharapkan Munas dan Muktamar selanjutnya sebisanya diadakan di lingkungan pondok pesantren.
Kiai As'ad berkeyakinan, NU itu sendiri adalah ikatan ulama dan kiai pondok. Ironis sekali bila orang memimpin NU tapi tak pernah menjadi santri, apalagi kiai, katanya pada suatu ketika. Dan memang, tumbuhnya sebagian besar pondok di negeri ini dapat dikatakan seirama dengan lahirnya ikatan ulama ahlussunnah waljamaah , yang kemudian mendirikan Nahdlatul Ulama itu. Salah satunya adalah Pondok Pesantren Salafiyah Syafi'iyah di Situbondo Jawa Timur.
Penataan Manajemen
Setelah menggantikan ayahnya mengasuh Pesantren Sukorejo, Kiai Fawaid segera membenahi sistem manajemen pondok sesuai dengan tuntutan zaman. Di antara kebijakan yang diterapkan adalah menerapkan manajemen terbuka. Hal ini terlihat dari penunjukan sejumlah santri yang berprestasi untuk memegang posisi penting di kepengurusan pesantren dan lembaga pendidikan yang ada.
Hasilnya, dalam beberapa tahun terakhir ini, pendidikan Pesantren Salafiyah terus berkembang. Sebagai misal, Ma'had Aly li al- Ulum al-Islamiyah Qism al-Fiqh atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ma'had Aly, sebuah lembaga pasca pesantren yang menitikberatkan pada kajian ilmu-ilmu fiqh, berkembang di tangan kiai muda ini. Begitu pula, bangunan fisik pesantren juga mengalami kemajuan yang cukup signifikan. Begitu juga sistem pendidikan berbasisi kompetensi juga mulai diterapkan di pesantren ini.
Pendidikan tinggi yang ada di pesantren ini menyerap sekitar 2.500 mahasiswa. Ada tiga fakultas di bawah naungan Institut Agama Islam Ibrahimy (IAII), yakni Fakultas Tarbiyah, Syariah, dan Dakwah. Di samping itu ada dua akademi dan satu sekolah tinggi, yaitu Akademi Perikanan (Aperik), Akademi Manajemen Informatika dan Komputer (Amik), dan Sekolah Tinggi Ilmu Perawat (Stiper). Juga ada Program Pascasarjana dengan Konsentrasi Manajemen Pendidikan Islam (MPdI) dan Konsentrasi Metodologi Istimbat Hukum Islam (MHI).
Tenaga pengajar IAII antara lain Prof. KH. Ali Yafie, Prof. Dr. KH. Sjeichul Hadi Permono, SH MA, Prof. Dr. Simanhadi Widyo Prakosa, Prof. Dr. Ridwan Nasir, MA, Prof. KH Abdul Halim Muhammad, SH, Dr. Ibrahim Bafadal, MA, HM Moerad baso, MBA, MSc, PhD, dan sejumlah nama lainnya. IAII dan Ma'had Aly sering mengadakan seminar dan sarasehan keislaman, dengan mengundang sejumlah cendikiawan dan birokrat dari Jakarta . Ma'had Aly dalam menjalankan program-programnya menjalin mitra kerja sama dengan lembaga lain. Antara lain Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat (P3M) Jakarta , LkiS Jogyakara, Lakpesdam NU, JIL Jakarta, dan ISIS Jakarta.
Perkampungan Pesantren
Pesantren Sukorejo yang menempati areal seluas 11,9 Ha merupakan perkampungan tersendiri. Pedukuhan Sukorejo hampir semuanya untuk area kegiatan pesantren. Lembaga pendidikan yang dikembangkan di pesantren ini mulai dari taman kanak-kanak sampai perguruan tinggi. Bahkan bengkel, kebun, perumahan ustadz/dosen, puskesmas, dan pertokoan, menempati lahan pesantren. Mulai Madrasah Aliyah (kurikulum Depag) sampai SMA/SMK (kurikulum Diknas) menempati areal pesantren yang ditumbuhi nyiur yang rindang.
Selain itu, berbagai keterampilan seperti pertukangan, otomotif, pertanian, dan koperasi tumbuh pesat di kalangan para santri yang berdatangan dari berbagai daerah mulai dari Aceh sampai Papua. Seperti Taman Mini Indonesia Indah (TMII), semua suku hampir terwakili di sini, komentar seorang santri dari Jakarta . Bahkan menurut catatan pengurus pondok, siswa dari Singapura , Malaysia , dan Brunai Darussalam juga belajar di Salafiyah.
Berapa santri harus membayar biaya pendidikan di Pesantren Salafiyah? Biaya pendidikan di pesantren ini, dikenal dengan sebutan Uang Tahunan Pesantren (UTAP), yang dihitung selama setahun dan tergantung tingkat pendidikan. Utap berkisar antara Rp 120.000 sampai Rp 375.000 dan masih bisa diangsur. Namun pesantren ini juga memberikan beasiswa kepada anak yatim dan mereka yang tidak mampu. Pemberian beasiswa itu ditentukan oleh pengurus pondok, berdasarkan kriteria yang sudah diatur.
Fasilitas yang disediakan pesantren kepada para santri antara lain: bangunan asrama, listrik, air serta pendidikan yang dipilihnya. Di samping itu pendidikan non formal, seperti kajian-kajian kitab kuning dan beberapa kursus. Selebihnya, seperti mencuci dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari dapat dilakukan santri sendiri atau melalui koperasi yang juga mengelola konsumsi para santri. Konon, koperasi pondok ini setiap tahun mendapat keuntungan Rp 350 juta.
Menjaga jarak
Walaupun Kiai As'ad telah tiada, toh banyak pejabat yang bertandang ke Pesantren Salafiyah. Dalam sebuah wisuda sarjana S1, Drs Mar'ie Muhammad (saat itu masih menjabat Menteri Keuangan) pernah memberikan ceramah ilmiah. Melihat sambutan spontanitas ribuan santri yang berkerumun dengan tetap bersikap santun. Mar'ie yang disertai pakar ekonomi Drs. Kwik Kian gie bertutur, Ini baru arus bawah, bukan rekayasa arus bawah.
Para Gubernur Jawa Timur dan Pangdam V/Brawijaya juga sering berkunjung ke pondok ini. Ini menunjukkan bahwa Pondok Sukorejo terbuka, kata KHR Achmad Fawaid. Menurutnya, tidak hanya tamu-tamu biasa seperti umumnya sering silaturrahim ke pondok, yang resmi seperti para pejabat dan jenderal pun datang meninjau ke pondok.
Pondok Sukorejo memang dekat dengan pejabat, namun tetap menjaga jarak. Karena itu bisa dipahami bila kemudian, setiap Pemilu pondok ini jadi œlangganan para petinggi parpol agar mendukung konsestan tertentu. Toh tak pernah berhasil. Mengapa? Kami akan meneruskan sikap Aba , bahwa seorang nahdliyin (warga NU) harus berpegang khittah ashliyyah yakni khittah 26 itu, ujar Kiai Fawaid. erserah mereka untuk memilih salah satu kontestan. Itu bukan tanggung jawab kami, lanjutnya.
Sikap netral Pondok Sukorejo itulah yang barangkali justru membuat respek baik œarus bawah maupun arus atas pada kiai dan pondok. Karena itu, bila ada pihak tertentu yang ingin silaturrahim, pengasuh pondok ini tetap menerimanya. Silakan tapi ingat jangan mengikat, kata kiai muda ini.